Sabtu, 14 Juni 2008

Kepemimpinan dalam Perspektif Tuhan Yesus Kristus

Dari ajaran dan tindakan Tuhan Yesus Kristus, dapat ditemukan konsep-konsep yang mengandung prinsip-prinsip dasar kepemimpinan yang cemerlang. Prinsip-prinsip dasar tersebut dapat dilihat pada penjelasan berikut. Dari Injil Matius 20:20-28 dan Injil Markus 10:35-45, Tuhan Yesus menjelaskan prinsip/falsafah dasar kepemimpinan yang dapat diuraikan sebagai berikut.

  1. Kepemimpinan Kristen berpusat pada Allah. Oleh kedaulatan-Nya, Allah menetapkan dan memanggil setiap pemimpin kepada tugas dan tanggung jawab kepemimpinan (Matius 20:23b, Markus 10:40; band. Roma 12:6-8; Roma 8:29-30).
  2. Kepemimpinan Kristen dibangun di atas hubungan-hubungan sebagai landasan kerja dan keberhasilan kepemimpinan. Tuhan Yesus secara sengaja membangun kepemimpinan-Nya di atas hubungan-hubungan, di mana dengan terencana Ia memanggil para murid-Nya dan melibatkan mereka ke dalam "kehidupan kelompok" sehingga melalui wahana kelompok kecil tersebut mereka digembleng, diajar, dan dilengkapi untuk menjadi pemimpin (Matius 20:20-23; Markus 10:35-40; band. Matius 10: 1-15; Markus 3:13-19; Lukas 6:12-16).
  3. Kepemimpinan Kristen diteguhkan di atas model kepemimpinan "pelayan hamba" yang merupakan landasan etika-moral bagi kepemimpinan, serta pola dasar manajemen dalam kepemimpinan. Sebagai model dasar kepemimpinan, para pemimpin Kristen perlu membangun sikap etis-moral sebagai "pelayan yang melayani" dan "hamba yang mengabdi" -- yang merupakan landasan bagi etos kerja. Sebagai pola dasar manajemen, model kepemimpinan pelayan-hamba ini memberikan tekanan kepada kerja yang berorientasi kepada keberhasilan (Matius 20:24-28; Markus 10:42-45; band. Ibrani 13:7,17; Kolose 3:23; 1Petrus 2:18-25; Lukas 17:10).
  4. Kepemimpinan Kristen berfokus kepada "melayani" (service) dengan memberikan yang terbaik. Fokus melayani ini menegaskan perlunya komitmen dan tindakan untuk mewujudkan yang terbaik dengan membayar harga, serta konsekuensinya sehingga lebih banyak orang yang akan menikmati hasil/dampak kepemimpinan seorang pemimpin (Matius 20:28; Markus 10:45; Yohanes 21:15-19; Ibrani 13:17-21; 1Petrus 3:13-23; Lukas 17:10). Fokus melayani dari kepemimpinan TUHAN Yesus ini dibangun di atas tujuan dan sasaran yang jelas dan pasti, yaitu membawa "kebaikan tertinggi" (bagi umat manusia, dalam hal ini "orang banyak").
  5. Kepemimpinan Kristen memiliki "kasih Kristus" (2Korintus 5:13-14; 1Korintus 13; 1Yohanes 4:7-10) sebagai dinamika kepemimpinan yang mewarnai seluruh aspek kepemimpinan yang mencakup kinerja dan hasil/produk dari setiap upaya memimpin. "Kasih Kristus" sebagai dinamika kepemimpinan Kristen memberi sifat reformatif dan transformatif bagi kepemimpinan Kristen. Dinamika kepemimpinan Kristen ini mengubah dan memperbaharui hidup, serta meneguhkan paradigma sebagai dasar bagi perspektif positif yang membangun (Matius 20:24-27; Markus 10:41-44). Dinamika kepemimpinan berlandaskan kasih Yesus Kristus di atas, sekaligus merupakan landasan yang memberikan kekuatan moral. Kekuatan moral inilah yang menyemangati kinerja kepemimpinan sehingga kepemimpinan Kristen memiliki jaminan akan adanya keberhasilan yang nyata (band. Matius 9:35-38 tentang belas kasih Yesus Kristus yang tidak pandang bulu).

Ada banyak ajaran Tuhan Yesus yang berhubungan langsung dengan kepemimpinan yang tidak dapat diuraikan dalam tulisan ini. Paling tidak, Tuhan Yesus dengan pasti memproklamirkan diri-Nya sebagai Mesias (Yang diurapi) dan "Misionary" (Yang diutus) sebagai Pembebas Sejati (Lukas 4:18-19), di mana Ia pun merujuk kepada diri-Nya sebagai "Pemimpin Mesias" (Matius 23:18) yang memberi indikasi kuat akan peran-Nya sebagai "Pemimpin" (band. Ibrani 13:8,20-21). Sebagai pemimpin, Tuhan Yesus membuktikan bahwa diri-Nya adalah "Pemimpin lengkap" dengan karakter yang tangguh, pengetahuan yang komprehensif, dan khas lebih, serta kecakapan sosial dan teknis yang sangat andal dalam kepemimpinan-Nya (band. Lukas 4:32; Matius 7:28-29; Markus 1:22 yang berisi pengakuan atas keandalan Tuhan Yesus sebagai pemimpin). Pembuktian keandalan-Nya sebagai pemimpin diwujudkan dengan memanggil, melatih/mengembangkan, dan mengutus para pemimpin ke dalam pelayanan (Matius 10:1-4, Matius 5-15; Markus 3:13-19; Lukas 6:12-16, dst.). Keunggulan kepemimpinan Tuhan Yesus ini terbukti dengan adanya pemimpin baru yang muncul dan memimpin secara unggul dalam meneruskan kepemimpinan-Nya (band. Petrus yang bangkit dan meneruskan kepemimpinan TUHAN Yesus Kristus -- Lukas 22:32; 1Petrus 5:1-5).

Yang Yesus Ajarkan tentang Kasih:Kasih adalah Prinsip Utama dari Semua Hukum

njil menuliskan empat keadaan di mana Yesus mengajarkan bahwa kasih merupakan prinsip utama dari semua hukum. Dalam Khotbah di Bukit kita mendapatkan contoh pertamanya. Seperti yang telah ditunjukkan bahwa hukum yang berkaitan dengan kutuk, perzinahan, dan penganiayaan kepada orang lain tidak hanya sekadar kata-kata saja dan harus dihargai lebih daripada itu. Dia berkata, "Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu" (Mat. 5:43,44).

Ayat yang diambil-Nya dari Perjanjian Lama, Imamat 19:18, menyatakan, kasihilah musuhmu. Ini menunjukkan bahwa Yesus benar-benar memberikan interpretasi umum pada ayat ini, suatu interpretasi yang muncul dari konsep "sesama". Bagi orang Yahudi, "sesama" adalah orang yang tinggal di sekitar kita. Pada kenyataannya, bahasa Yunani untuk "sesama" berarti orang yang di dekat kita. Orang Yahudi jumlahnya sangat banyak sehingga yang dimaksud "sesama" hanyalah orang Yahudi. Dan karena hampir setiap orang lain menjadi musuh, mereka memberi celah permusuhan kepada orang lain. Yesus memerintahkan, "Kasihilah musuhmu." Pada waktu itu seseorang hampir tidak mungkin berpikir hal-hal yang lebih mengejutkan dan tidak masuk akal.

Yesus menegaskan hal ini untuk kedua kalinya ketika ada seorang muda yang kaya datang kepada-Nya. Pengikut muda ini menyebut Yesus, "Guru yang baik", dan bertanya bagaimana bisa mendapatkan hidup yang kekal. Yesus mengatakan kepadanya supaya mematuhi perintah Allah. Ketika dia bertanya perintah yang mana yang dimaksud Yesus, Tuhan berkata, "Jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta, hormatilah ayahmu dan ibumu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri" (Mat. 19:18,19). Perhatikan bahwa Yesus menghubungkan hukum kasih dengan tugas setiap orang.

Untuk ketiga kalinya Yesus menggunakan hukum ini sebagai acuan untuk menjawab pertanyaan ahli Taurat (Luk. 10:25-29). Orang ini menanyai Yesus hanya untuk mencobai-Nya. Pertanyaan itu diajukan oleh seorang ahli Taurat, "Guru, apa yang harus aku perbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?" Jawab Yesus kepadanya: "Apa yang tertulis di dalam hukum Taurat? Apa yang kau baca di sana?" Jawab orang itu: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." Yesus membenarkan jawaban orang itu tentang kedua perintah ini. Tetapi ahli Taurat ini mencoba membenarkan dirinya sendiri, ingin tahu, "Siapakah sesamaku manusia itu?" Untuk hal ini Yesus menceritakan kepadanya tentang orang Samaria yang baik hati (Luk. 10:30-35).

Pada kali yang keempat, Yesus menekankan hukum kasih ini di sepanjang minggu terakhir keberadan-Nya di Yerusalem. Pada saat ini juga, seorang ahli Taurat menanyai Dia untuk mendapatkan jawaban yang benar. Ahli Taurat itu menanyakan perintah apa yang terutama. Yesus menjawab bahwa perintah yang pertama adalah mengasihi Allah dan perintah kedua adalah mengasihi sesama (Mat. 22: 35-39). Yesus memberi kesimpulan pada ayat 40 dengan mengatakan, "Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi."

Dengan demikian, kita bisa melihat bahwa Dia menjadikan hukum kasih sebagai pusat dari seluruh hukum. Mengapa? Karena jika kita benar-benar mengasihi Allah dan sesama kita, dengan sendirinya kita akan memenuhi hukum-hukum lainnya. Kita tidak bisa mengasihi seseorang, namun kita mencuri atau iri hati terhadap apa yang dimilikinya. Kita tidak bisa mengasihi Allah dan mengkhianati-Nya atau menyembah berhala. Kasih Yesus tidak mengajarkan rasa sentimentil, tetapi kemampuan untuk berbuat baik. Karena kasih adalah prinsip utama dari semua hukum.

Prinsip ini Yesus gunakan untuk menyatakan bahwa murid-murid-Nya harus saling mengasihi sama seperti Ia yang juga mengasihi mereka. Yesus menyebut ini sebagai "hukum yang baru". Yesus juga menyatakan bahwa kasih kepada-Nya akan tampak dalam ketaatan kepada-Nya (Yoh. 15:12-17; Yoh. 14:15-23). Yesus mengatakan, "Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku" (Yoh. 14:15). Kasih kita kepada Allah diukur berdasarkan ketaatan kita kepada-Nya dan dari kasih kita kepada sesama kita.

KASIH MERUPAKAN SIFAT ALLAH

Rasul Yohanes mengatakan kepada kita, "Allah adalah kasih" (1Yoh. 4:8). Meskipun pernyataan ini tidak dinyatakan langsung oleh Yesus kepada kita, tetapi kita bisa melihat kebenarannya melalui kebangkitan dan pelayanan-Nya. Kedatangan-Nya dijelaskan hanya dengan dasar kasih Allah dan perhatian untuk manusia. Yohanes menyederhanakannya dan menyatakannya demikian, "Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia mengaruniakan anak-Nya yang tunggal" (Yoh. 3:16). Apa lagi yang masih kita perlukan untuk membuktikan kasih Allah?

Ajaran Yesus tentang pemeliharaan Allah sudah menjadi bukti dari kasih-Nya. Dalam Khotbah di Bukit, Yesus mengajarkan kepada kita agar tidak khawatir karena kita dapat bergantung kepada Bapa. Yesus menunjukkan kepada kita bahwa Bapa memelihara burung-burung, mendandani rumput di padang, dan memberi keindahan kepada bunga-bunga yang bermekaran, dan begitu juga Dia akan memelihara kita (Mat. 6:25-33).

Tindakan Yesus yang berbelas kasih itu sendiri menunjukkan betapa Allah itu kasih. Ia yang menyembuhkan orang sakit, menghidupkan kembali orang yang sudah mati, memberi makan orang banyak, dan melindungi murid-murid-Nya menunjukkan bahwa kasih adalah sifat Allah. Ia mengatakan kepada murid-murid-Nya bahwa setiap orang yang telah melihat Dia telah melihat Bapa (Yoh. 14:9). Tindakan Yesus yang menunjukkan kasih selama Ia hidup menjadi bukti yang paling nyata bahwa Allah itu kasih. Dengan demikian, kita bisa menyimpulkan bahwa Ia mengajarkan bahwa kasih merupakan sifat Allah.

Ajaran-ajaran Yesus yang menggunakan perumpamaan juga menunjukkan hal ini. Kasih yang dimiliki seorang ayah dalam cerita anak yang hilang menggambarkan kasih Bapa di surga. Ketentuan untuk para pekerja juga merupakan ketentuan dari kasih, bukan dari kebaikan mereka. Dan pengorbanan dari seorang gembala yang baik juga merupakan kepedulian terhadap mereka yang dikasihi.

Petrus mengatakan kepada kita bahwa kehidupan Tuhan kita merupakan suatu "contoh" atau sebagai seperti yang disebut dalam bahasa Yunani "tupos", (atau dalam bahasa Inggris "type"). Dia meninggalkan "teladan" bagi kita, kata Petrus, "supaya kamu mengikuti jejak-Nya" (1Ptr. 2:21). Inti dari contoh ini adalah kasih. Bagaimana kita bisa mengasihi seperti Ia mengasihi? Hanya dengan mengenal bahwa kuasa dari kasih itu adalah kuasa-Nya. Dia adalah pokok anggur dan kita adalah ranting-rantingnya. Bila kita tinggal di dalam pokok anggur itu, kekuatan dari pokok anggur itu memberi kita hidup, dan sifat dari anggur (kasih) ditunjukkan dalam buahnya (Yoh. 15:1-13).

Sabtu, 17 Mei 2008

Orang Gila Masuk Surga?

Pertanyaan :BAPAK Pendeta, suatu hari di tempat kerja saya, ada beberapa teman seiman yang sedang bercanda. Dalam canda itu mereka membicarakan masalah orang gila dengan berbagai nasib serta keanehannya. Di tengah keriuhan suasana, tiba-tiba ada yang nyeletuk, “Apakah orang gila itu bila mati masuk surga?” Dan pertanyaan “iseng” itu ternyata membuat perdebatan itu makin hebat dan seru. Peserta terpecah pada dua kubu: pro dan kontra, surga dan neraka. Tolong Bapak jelaskan menurut Alkitab.Tri-JakartaJawaban :Apakah orang gila bisa masuk surga? Sebuah pertanyaan yang bisa dipertanyakan kembali: Apa yang membuatnya tidak bisa masuk Sur-ga? Kata “gila”, segera meng-ganggu kita. Dan jika diperpan-jang, tentu saja banyak perta-nyaan lainnya, seperti orang idiot dan seterusnya. Belum lagi bayi yang berumur satu hari, atau bah-kan orang yang bermukim di pedalaman, yang notabene tidak pernah mendengar Injil tapi sudah meninggal.Keselamatan menjadi kebutuhan setiap orang, siapa pun dia (tua atau muda, waras atau gila, pen-deta atau orang awam—semuanya perlu keselamatan). Alkitab ber-kata, “Semua orang telah jatuh ke dalam dosa sebagai konsekuensi kejatuhan Adam (I Korintus 15: 20-22). Ini disebut sebagai dosa turunan, dosa warisan, di mana Adam sebagai reseprentatif manu-sia, berdosa kepada Tuhan. Dan perbuatan dosa itu telah menjadi nyata di dalam kehidupan manusia (Roma 3: 9-20).Jadi, sekali lagi setiap manusia perlu diselamatkan, dan kesela-matan itu hanya ada di dalam penebusan Yesus Kristus. Ini juga berarti, setiap orang bisa dise-lamatkan berdasarkan kemurahan Tuhan, bukan melihat apakah manusianya itu waras atau gila. Ka-rena apabila berdasarkan peme-nuhan syarat, maka tidak seorang pun yang selamat, entah dia waras atau tidak, karena tidak seorang pun yang layak, yang memenuhi syarat, untuk diselamatkan.Sekarang, mari kita pahami apa yang dikatakan Alkitab soal keselamatan.Efesus 2:8-9. Keselamatan adalah kasih karunia. Dengan tegas Alkitab mengatakan keselamatan bukanlah hasil usaha manusia, baik pribadi maupun kolektif. Karena itu manusia tidak bisa memegahkan diri, untuk apa yang telah dia perbuat. Keselamatan sebagai ka-runia Allah, mendahului setiap tin-dakan (pelayanan, persembahan, ibadah, doa, puasa) maupun status manusia (kaya, miskin, sehat, sakit, waras, atau gila).Yohanes 3:16. Keselamatan adalah karena percaya/beriman. Iman yang muncul karena dorongan kasih karunia (bukan kemampuan rasio), yang memam-pukan manusia per-caya kepada Yesus sebagai Tuhan yang menebus dosa dan juru selamat manusia (I Korintus 12: 3).Yohanes 16: 8-11. Untuk percaya, tentu saja diawali dengan kesadaran dan penga-kuan manusia akan dosanya. Kesadaran dan pengakuan yang muncul sebagai anugerah yang dikerjakan oleh Roh Kudus, yang diikuti de-ngan pengakuan percaya kepada Yesus Kristus. Kepercayaan manusia timbul karena dimam-pukan oleh Roh Kudus.Sementara bagi peristiwa di luar jangkauan manusia, seperti keselamatan bayi atau orang yang tidak sempat mendengar Injil selama hidupnya, Alkitab berkata dalam Ulangan 29: 29: Hal hal yang tersembunyi ialah bagi Tuhan Allah kita, tetapi hal hal yang dinyatakan ialah bagi kita dan bagi anak anak kita sampai selama-lamanya, supaya kita melakukan segala perkataan hukum Taurat ini. Artinya ada bagian yang kita me-ngerti yaitu percaya selamat, menolak binasa. Yang menolak yang binasa, bukan yang tidak waras. Sementara yang tidak sempat percaya atau bayi, menjadi kedaulatan Allah yang tidak kita ketahui. Allah adil dalam tiap tindakan-Nya.Nah, rekan Tri, saya harap jawaban ini cukup jelas, bahwa keselamatan adalah anugerah dan orang gila pun bisa mendapatkan-nya. Menyangkut sikap “percaya”, itu unik sekali, karena lebih merupakan sikap hati/iman yang melintasi rasio. Ketidak-warasan seseorang, itu tidak sama dengan tidak beriman.OK, selamat melanjutkan dis-kusinya dengan teman-teman seiman. Semoga semua sudah berlangganan REFORMATA, supaya dapat informasi yang selalu up to date.

Singkong dan Air Putih,

Pertanyaan : Bapak Pendeta yang terhormat. Dalam Perjamuan Terakhir, Yesus dan murid-murid memakan hosti yang tidak beragi serta minum anggur. Hosti sebagai lambang tubuh Yesus, sedangkan anggur lambang darah Yesus (Yohanes 6:51, Yohanes 6:53).Pertanyaan saya, apakah hosti dan anggur yang sudah ditetapkan oleh Yesus itu dapat kita ganti dengan makanan/minuman lain? Misalnya singkong dan air putih, atau kerupuk dengan sirup? Saya sendiri berpendapat, itu bukan Perjamuan Kudus seperti yang sudah ditetapkan Yesus. Saya ingin para pendeta/pengajar/gembala sidang dapat memberi pengajaran kepada jemaat berdasarkan kebenaran dari Firman Tuhan.John SihiteJl.Benda Timur XI Blok E 76/26 Pamulang Permai 2 Ciputat, Tangerang, BantenJawaban:Yang terkasih, Sdr. John Sihite.Pertanyaan Anda sangat menarik, karena menyentuh bagian yang penting dalam kehidupan umat Allah, yaitu Perjamuan Kudus. Untuk membahas hal ini kita perlu membagi dulu antara perjamuan itu sendiri dan benda-benda untuk perjamuan. Sakra-men Perjamuan Kudus itu sendiri merupakan keharusan yang memang diperintahkan Tuhan kepada gereja-Nya (Lukas 22:19-20). Perjamuan Kudus merupakan sikap iman yang harus dinyatakan, sebagai refleksi keterikatan kita dengan Yesus Kristus Tuhan, juruselamat, kehidupan sejati (Yohanes 14: 6). Saya yakin, untuk hal ini Anda pasti setuju, bukan?Sekarang, soal apakah benda-benda Perjamuan Kudus (roti dan anggur) boleh diganti dengan yang lainnya (singkong dan air putih, misalnya). Dalam konteks Alkitab, roti telah dikenal sejak jaman Perjanjian Lama (PL) sebagai makanan utama (Ulangan 8: 3, Amsal 6: 8), bagian dari ibadah (Keluaran 12: 8), roti sajian (Keluaran 25: 30), dan tentu saja simbol rohani (Yesus berkata, “Akulah roti hidup”). Demikian juga dengan anggur yang merupakan bagian yang familiar dalam kehidupan orang Yahudi. (Contoh, pesta perkawinan di Kana yang ketika itu kehabisan anggur. Dan Yesus menolong pasangan itu). Kebun anggur-Ku, menggambarkan umat Israel. Lalu, Yesus melambangkan anggur sebagai darah-Nya. Nah, semuanya (roti, anggur) memang punya makna tersendiri. Tetapi itu adalah simbol yang dipakai dalam konteks Yahudi. Bagaimana jika di sebuah desa terpencil di Indonesia misalnya tidak ada roti dan anggur, atau penduduknya tidak mengenal roti dan anggur? Apakah mereka tidak boleh menyelenggarakan Perjamuan Kudus? Bukankah berdasarkan situasi seperti ini dapat dibenarkan mengganti roti dan anggur? Tetapi sebaliknya, jika ada tersedia roti dan anggur, mengapa harus memakai yang lainnya? Jadi, dalam masalah ini bukan soal boleh atau tidak, melainkan kenyataan yang ada. Toh, roti yang dipakai umat juga ada perbedaan: ada yang memakai ragi (roti beragi), belum lagi bentuk dan ukurannya seperti apa?. Atau anggurnya: fregmentasi atau bukan, dan berapa banyak jumlah idealnya?. Jadi, sekali lagi, yang prinsip adalah Perjamuan Kudus harus dilakukan. Namun, jika tidak ada dan tidak mungkin mendapatkan roti dan anggur, jangan sampai hal itu menghalangi jemaat untuk menyelenggaran acara Perjamuan Kudus. Sebaliknya, jika ada tersedia anggur dan roti, mengapa harus menggantinya dengan atau oleh alasan apa pun, apalagi dengan alasan bahwa itu relatif? Rasul Paulus berkata, “Tidak semua yang boleh itu berguna” (I Korintus 10: 23-24). Selamat bertindak etis dan jangan sampai menjadi batu sandungan. Begitulah pendapat saya, rekan John. Senang bisa berdialog dengan Anda, walaupun baru bisa melalui REFORMATA. Syalom.*